Februari 25, 2015 0 komentar

Pembela Pembenaran

A: Gas, skripsimu sudah kelar belum?
Saya: Belum nih, lagi nyambi kerja buat nyari pengalaman.
A: Nggak lebih enak dikelarin dulu skripsinya biar nyaman kerjanya?
Saya: Nyantai dulu ah, habis lulus ntar juga belum tentu dapat kerja langsung.
A: Oh gitu yaa....

B: Gas, nggak pengin jadi PNS?
Saya: Nggak ah, males. Lebih enak kerja di bidang kreatif sama freelance.
B: Kan, jadi PNS enak, Gas. Gaji tetap tiap bulan, ada pensiunan juga.
Saya: Belum minat
B: Oh gitu yaa....

C: Gas, kenapa jarang sholat sih?
Saya: Hati belum nyaman sih, daripada nanti gak khusyuk.
C: Kalau nggak dibiasain ya susah malahan.
Saya: Nunggu hati dan pikiran ikhlas aja, karena sholat bukan kewajiban tapi kebutuhan.
C: Oh gitu yaa....

Umur sudah hampir seperempat abad, tapi masih saja memberi makan ego dan membenarkan segala perbuatan sebagai pembenaran. Saya menyadari sekarang, di dunia ini tidak ada benar dan salah yang hakiki, semuanya relatif. Saya harus mendengarkan omongan dari orang-orang di sekitar, tidak melulu menjadi orang yang mengagungkan keidealan pikiran diri sendiri yang sangat subyektif. Namun dalam hal ini, tidak saya saja yang selalu berkelit dan menjadi pembela pembenaran. Di luar sana, masih banyak manusia-manusia yang lebih keras kepala lagi ketimbang saya.

Pembenaran akan selalu menjadi pembenaran dan akan selalu mencari alibi yang membuat diri ini berada di posisi yang tak bisa disalahkan. Apabila sifat seperti ini tetap dipelihara hingga subur, jangan kaget apabila pembenaran tersebut dimentahkan oleh kenyataan hidup yang tidak sesuai dengan ekspektasi.

Kebenaran yang hakiki hanyalah milik Sang Pencipta alam semesta. Jangan terlalu menjadi seorang yang pretentious bastard, karena sudah pasti banyak orang di sekeliling yang menyayangimu dengan cara mengingatkan untuk ke arah yang lebih baik. 

Pertahankan pembenaranmu dengan selalu berpikir rasional dan realistis, karena tulisan ini bisa jadi menjadi pembenaran sang penulis.

Terima kasih.

 
;